Amanah Si Alif (Cerpen Anak)



Udara pagi yang dingin menyelimuti wilayah desa Seruni. Aktivitas warga yang biasanya dimulai cukup pagi sekarang menjadi lebih siang. Sebagian besar masyarakat memilih untuk kembali ke dalam rumah untuk menghangatkan badan setelah sholat subuh berjama’ah di masjid. Hal itu juga yang dilakukan oleh Alif, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun. Alif merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik perempuan  bernama Jeni yang masih berusia lima tahun. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sehari-hari bersama bunda mereka, bunda Aisyah. Ayah mereka bekerja di luar kota dan hanya pulang setiap tiga bulan sekali.
Menemani dan membimbing Alif dan Jeni belajar adalah rutinitas yang dilakukan oleh bunda Aisyah setiap malam. Selain mengajarkan pelajaran yang masih mereka anggap sulit, bunda Aisyah juga melakukan obrolan ringan bersama mereka.
“Bunda, apakah menjadi seorang pemimpin itu sulit?” tanya Alif
“Kakak ingin jadi presiden?” sahut Jeni yang duduk di sampingnya
 “Tidak, memangnya pemimpin hanya presiden? bukankah ayah juga seorang pemimpin di keluarga ini, Bunda?” tanya Alif sambil melihat ke arah bunda.
“Ya Jeni, benar apa yang dikatakan Kak Alif. Pemimpin itu bukan hanya presiden. Presiden adalah pemimpin bagi negara ini, negara Indonesia. Ayah juga seorang pemimpin. Ayah memimpin keluarga kita. Pada hakikatnya, setiap orang diciptakan sebagai seorang pemimpin, meskipun hanya sebagai pemimpin diri sendiri. Coba kalian ingat, pernah kah kalian bingung memilih sesuatu dari beberapa pilihan? Kemudian siapa yang akhirnya memutuskan memilih yang kalian pilih? Kalian sendiri kan?” kata bunda Aisyah ramah.
Sejenak mereka terdiam. Mereka masih merenungi kata-kata dari bunda mereka. Setelah mereka paham betul maksud penjelasan bunda mereka, perbincangan tersebut pun terus  berlanjut dan akhirnya Alif mengakui bahwa dirinya ingin menjadi ketua kelas. Seorang ketua yang mampu menjadi pemimpin bagi teman-teman di kelasnya. Meskipun saat ini Alif baru berada di kelas lima sekolah dasar, dia sudah memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin. Tentu saja, bunda dan Jeni mendukung keinginan tersebut.
Keesokan hari di kelas, wali kelas Alif yang bernama ibu Sani kembali menawarkan kepada siswanya siapa yang ingin menjadi ketua kelas. Namun, tidak ada satu pun siswa yang mau. Kemudian, Alif mengacungkan tangan. Hanya Alif yang mau menjadi ketua kelas. Akhirnya ibu Sani dan teman-teman kelasnya setuju Alif menjadi ketua kelas. Setelah ketu kelas terpilih, ibu Sani meminta Alif untuk mengumpulkan iuran dari teman-teman kelasnya untuk menjenguk Fitri, teman satu kelasnya yang sedang dirawat di rumah sakit. Ibu Sani pun menjelaskan bahwa apabila ada teman yang sakit, maka kita harus menjenguknya dan memberikan semangat untuk segera sembuh dan bisa bermain bersama kembali. Dengan adanya rasa kekeluargaan dan kepedulian yang tinggi, teman-teman kelas Alif rela menyisihkan sebagian uang saku mereka untuk menjenguk Fitri. Ibu Sani pun ikut memberikan iuran. Setelah semua telah terkumpul, Ibu sani meminta bantuan kembali kepada Alif selaku ketua kelas untuk membawa uang tersebut dan membelikannya buah untuk dibawa menjenguk Fitri keesokan harinya yang bertepatan pada hari Minggu.
Sepulang sekolah, Alif pergi ke toko buah untuk membeli beberapa jenis buah. Saat itu, dia melihat buah apel merah yang segar dan dia pun ingin membeli untuk dirinya. Tetapi, uangnya telah habis untuk iuran. Akhirnya dia membeli buah jeruk dan buah apel merah untuk menjenguk Fitri besok pagi. Di tengah perjalanan pulang, Alif masih berkeinginan untuk makan satu apel tersebut.
“Mungkin kalau aku makan satu buah apel saja tidak apa-apa. Lagi pula ibu Sani dan teman-teman juga tidak tahu berapa jumlah buah apel yang sudah aku beli dengan uang iuran tadi,” kata Alif dalam hati.
Sesampainya di rumah, Jeni dan bunda Aisyah telah menantinya di depan meja makan, menunggu Alif untuk makan siang bersama. Keluarga sederhana ini memang selalu membiasakan untuk makan bersama selama semua anggota keluarga tidak ada kegiatan lain.
“Assalamu’alaikum” kata Alif
“Wa’alaikumsalam,” jawab bunda dan Jeni serempak
“Kok baru pulang?” tanya bunda
“Asiik, Kakak bawa makanan!” sahut Jeni saat melihat kantong buah di tangan Alif.
“Iya Bunda, ceritanya panjang. Nanti setelah makan, Alif ceritakan semua deh sama Bunda. Sekarang Alif mau menaruh buah ini dulu di kamar ya Bunda, ini untuk menjenguk Fitri besok pagi. Karena besok mau menjenguk pagi-pagi, jadi belinya sekarang, takut tokonya besok belum buka” jawab Alif
“Ya sudah, sekalian ganti baju dan cuci tangan,” sahut bunda
“Cepat Kak! Jeni sudah lapar.”
Saat itu juga Alif berlari ke dalam kamar. Tidak lama kemudian Alif keluar kamar dan membawa satu buah apel merah di tangannya. Saat Alif sampai di meja makan, seperti biasa bunda memimpin berdoa dan dilanjutkan makan siang bersama. Selama makan, suasana tenang, karena sudah dibiasakan saat makan tidak sambil berbicara. Setelah selesai makan, Alif memegang apel merah yang dari tadi diletakan di depan piring makannya dan Alif mulai bercerita.
“Bunda, tau tidak, sekarang siapa yang jadi ketua kelas di kelas Alif?” tanya Alif
“Memangnya siapa?” sahut bunda
“Sekarang Alif sudah dipilih menjadi ketua kelas Bunda. Itu berarti sekarang Alif sudah menjadi pemimpin dari teman-teman Alif di kelas,” jawab Alif dengan gembira.
Kemudian Alif melanjutkan menceritakan semua hal yang terjadi hari ini di kelasnya, sampai saat dia dimintai oleh Ibu Sani untuk membawa uang iuran dan membelikannya buah.
“Bagus Nak, tapi perlu Alif ingat, menjadi seorang pemimpin itu berarti Alif juga harus bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dengan yang Alif pimpin. Alif harus bertindak adil, tidak boleh sombong, tidak boleh pilih-pilih teman, dan tetap jadilah Alif yang sebelumnya, karena suatu jabatan itu sifatnya hanya sementara. Suatu saat Alif kan harus melepas jabatan itu. Jika naik kelas nanti, Alif belum tentu menjadi ketua kelas.” kata bunda, menasihati.
“ Iya Bunda,” sahut Alif yang masih memegangi apel merah.
“Kakak, Jeni mau minta apelnya. Katanya tadi untuk jenguk kak Fitri, kok malah mau dimakan?” tanya Jeni.
“Satu aja tidak apa-apa kan Bunda?” tanya Alif kepada bunda.
“Tidak boleh Nak. Walaupun satu tetap tidak boleh. Itu bukan milik Alif. Itu kan hanya dititipkan ke Alif. Itu merupakan salah satu ujian bagi Alif menjadi seorang pemimpin. Tidak seharusnya seorang pemimpin memakan sesuatu yang bukan miliknya. Nanti kamu berdosa, nanti teman-teman Alif tidak lagi percaya sama Alif sebagai ketua kelas,” kata bunda
“Jadi tidak boleh Bunda? walaupun cuma satu? kan ibu Sani dan teman-teman juga tidak tahu Alif beli berapa biji buah apelnya,” jawab Alif membela diri
“Mereka mungkin tidak tahu, tapi Alloh? Dia kan tahu semua yang Alif lakukan. Apa Alif tidak takut kalau mendapat hukuman dari Alloh hanya karena sebuah apel?” tanya bunda
“Ya Bunda, Alif tidak jadi makan apel ini. Akan Alif kembalikan ke tempatnya.”
“Itu baru anak Bunda,” kata bunda sambil tersenyum.
Saat itu juga Alif berlari ke dalam kamar untuk mengembalikan buah apel yang tidak jadi untuk dimakan. Sejak saat itu, Alif tahu bahwa menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah, banyak godaan yang menghadang, tapi Alif selalu berusaha untuk menjadi pemimpin yang jujur, tidak menyalahgunakan kepemimpinannya, dan tidak menggunakan sesuatu yang bukan haknya.


Yogyakarta, 29 Agustus 2012


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

International Perspective on Developing Method to Uncover Psychological Phenomena of Learning Mathematics

Freelance, why not?

DIRGAHAYU INDONESIA (Makna Kemerdekaan Untuk Semua)