Kontradiksi yang Tiada Henti Dalam Kehidupan
Oleh: Eny Sulistyaningsih (P. Mat A_14709251086)
(Terinspirasi oleh perkuliahan Filsafat Ilmu
Bersama Prof. Marsigit, M.A pada hari Kamis, 2 Oktober 2014)
Kehidupan di dunia
selalu penuh dengan warna-warninya yang menghiasi. Seperti halnya selalu ada
pro dan kontra hampir dalam setiap sisi kehidupan. Pro dan kontra tersebut
menghasilkan suatu kontradiksi. Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
kontradiksi merupakan pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau
bertentangan. Secara filsafat, kontradiksi meliputi yang ada dan yang mungkin
ada. Hal tersebut akan terus berlaku selama seorang individu masih ada di dunia
ini. Dengan kata lain, selama manusia hidup di dunia ini akan selalu ada kontradiksi.
Menurut Marsigit (2013),segala macam urusan dunia tidak bisa terbebas dari
hukum-hukum kontradiksi karena hal tersebut adalah kodrat manusia di dunia yang
bersifat berpotensi melakukan kesalahan.
Ketiadaan kontradiksi hanya terjadi dalam kehidupan selain di dunia ini. Ketiadaan kontradiksi tersebut disebut dengan identitas. Dimana dalam matematika, identitas adalah suatu sifat yang menghasilkan dirinya sendiri.
Ketiadaan kontradiksi hanya terjadi dalam kehidupan selain di dunia ini. Ketiadaan kontradiksi tersebut disebut dengan identitas. Dimana dalam matematika, identitas adalah suatu sifat yang menghasilkan dirinya sendiri.
Seringkali kita
berpikir bahwa adanya kontradiksi akan selalu berhubungan dengan kerusuhan,
percekcokan, keributan, pertengkaran, kegalauan, dan hal-hal negatif lainnya.
Padahal, setiap hal yang terjadi di kehidupan ini selalu ada makna positif yang
terkandung, baik itu tersirat maupun secara tersurat, termasuk dalam setiap kontradiksi
yang kita alami dalam hidup. Kontradiksi dapat bersifat ringan, sampai yang
bersifat berat atau melibatkan banyak kepentingan lain yang saling terkait. Contohnya
kontradiksi yang sering kita alami adalah saat kita mulai bagun tidur, kita
akan berpikir apakah kita akan langsung mandi dan melakukan aktivitas-aktivitas
lain atau kita akan melanjutkan tidur kita. Secara tidak sadar, kita telah
mengalami kontradiksi dalam hati dan pikiran. Hal tersebut mungkin sering
terjadi tetapi jarang yang menganggap itu sebagai suatu kontradiksi karena itu
merupakan hal yang sederhana dan hampir terjadi setiap hari. Contoh kontradiksi
yang cukup berat yang akhir-akhir ini sedang menjadi perbincangan masyarakat
adalah adanya peraturan baru tentang penghapusan sistem pemilihan langsung oleh
rakyat untuk memilih pemimpinnya di kawasan daerah. Adanya sikap pro dan kontra
yang terlihat secara jelas antara pihak yang mendukung dan pihak yang menolak
peraturan tersebut membuat kita lebih dengan mudah mengatakan bahwa dalam situasi
tersebut ada suatu kontradiksi, berbeda dengan contoh yang pertama yang memang
merupakan suatu kontradiksi yang jarang terpikirkan.
Adanya dampak baik atau
buruk dari sebuah kontradiksi tergantung dari pemikiran kita masing-masing.
Seperti halnya pada contoh pertama, dengan adanya kontradiksi dalam hati dan
pikiran, kita setidaknya jadi lebih dewasa dan lebih bisa bertanggung jawab
terhadap diri sendiri, karena apapun pilihan yang akan diambil tentunya akan
berdampak pada diri sendiri. Selain itu kita juga jadi membiasakan diri untuk
lebih disiplin terhadap waktu. Sedangkan pada contoh kasus kedua, terlepas dari
berbagai kepentingan politik yang ada, kontradiksi yang terjadi seharusnya
dapat menjadikan bangsa Indonesia menjadi semakin bersatu, karena apapun
keputusan finalnya, tujuan dari semua pihak yang pro maupun kontra adalah untuk
menciptakan Indonesia menjadi lebih baik.
Saat kontradiksi hadir
dalam kehidupan, tidak sedikit orang yang menginginkan kedamaian dalam hidup.
Hidup tanpa adanya kontradiksi dalam hal apapun. Hal tersebut dikarenakan
adanya sifat sensitif terhadap ruang dan waktu. Seperti dalam matematika, saat
6+6 belum tentu jawabannya 12. Bisa saja 2, 3, atau yang lainnya. Saat kita
menggunakan modulo 10, maka jawaban akan berbeda dengan saat kita menggunakan
modulo 6, 7, atau 8. Itulah kita, manusia yang sangat sensitif terhadap ruang
dan waktu. Apa yang dipirkan sekarang pastinya akan berbeda dengan apa yang
dipikirkannya nanti. Namun, dalam filsafat suatu identitas dimana tidak ada
kontradiksi merupakan hal yang mustahil terjadi pada manusia. Di dunia ini,
kita sebagai subjek tidak akan pernah sama dengan predikat. Dimana predikat
tersebut adalah segala sesuatu atau sifat yang dikenakan pada objek. Hanya satu
yang sangat mungkin subjek sama dengan objek yaitu Tuhan yang Maha Esa, Tuhan
dengan segala kebesaran-Nya. Contoh matematika yang Tuhan berikan adalah adanya
a dan bukan a itu sendiri. Saat a=a+1 maka
nilai a yang pertama dan nilai a yang kedua tentu berbeda. Seperti
halnya pada sistem komputer yang hanya memberikan dua pilihan, 1 dan 0.
Berbicara lebih lanjut
tentang subjek dan objek, maka dalam filsafat objek adalah segala hal yang
mampu kita gerakkan atau kita berikan tindakan. Seperti halnya saat kita
mengendarai sepeda motor kita memiliki hak penuh untuk menggerakkannya pelan
atau cepat, ke kanan atau ke kiri, dan sebagainya. Contoh lain adalah diri kita
adalah objek dari pikiran kita sendiri. Saat pikiran kita memerintahkan untuk
menulis, maka kita akan menulis, saat diri kita memerintahkan untuk duduk maka kita akan duduk. Dalam kehidupan kita
sebagai seorang anak, kita adalah objek dari orang tua kita. Orang tua kita
adalah subjek, dimana banyak bagian-bagian mereka yang ada dalam diri kita
seperti halnya nasihat, restu, kasih sayang, dan lain sebagainya. Meskipun
demikian, orang tua kita tidaklah sama dengan nasihat, meskipun nasihat itu
adalah milik orang tua kita. Selalu ada sifat dari sifat-sifat yang ada. Artinya
nasihat orang tua ke diri kita adalah bijaksana, bijaksna yang alami, yang sesuai
dengan adat dan budaya yang masih dilakukan, dan seterusnya. Sifat itu mliputi
yang ada dan yang mungkin ada sebagai sifat, salah satunya adalah bahwa hubungan
subjek dan hubungan objek yang bersifat determine (menentukan), yaitu
menjatuhkan sifat pada predikat. Sedangkan ilmu yang mempelajari hal tersebut
disebut determinisme. Selain determine, ada juga accident atau yang berarti
menjatuhkan pada. Contohnya adalah saat kita melihat sesuatu maka kita akan
menjatuhkan pandangan pada suatu titik objek. Penggunaan accident dan determine
tetaplah harus sopan terhadap ruang dan waktu.
Penerapan dalam
pembelajaran matematika adalah guru yang cenderung mendikte atau sekedara
mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswanya, sehingga yang terjadi adalah guru
tersebut menjatuhkan pikirannya kepada siswa. Hal tersebut tentunya bukanlah
suatu pembelajaran yang ideal karena siswa akan merasa terbayang-bayang oleh
semua perkataan guru dan akibatnya siswa tidak bebas dalam menemukan pengetahuan
dan pikirannya sendiri. Seperti dalam Elegi Permintaan Si Murid Cerdas Kepada
Guru Matematika (Marsigit: 2013), dikatakan bahwa seorang guru yang mendidik siswa yang berbeda-beda, seyogyanya
mempelajari matematika yang berbeda dan bermacam-macam, walau memerlukan waktu
yang berbeda-beda, tetapi dengan metode yang berbeda-beda pula, alat yang
berbeda-beda pula, serta hasil yang boleh berbeda, yaitu boleh berbeda dengan
apa yang guru pikirkan. Selain itu siswa
juga membutuhkan suatu kepercayaan dan
kesempatan dari guru untuk mempelajari matematika yang beraneka ragam.
Berbagai macam
kontradiksi yang terjadi dalam kehidupan tidak mampu kita hindari. Namun, solusi
dari kontradiksi itu sendiri adalah dengan adanya interkasi, komunikasi, dan
hermeneutika (menerjemahkan dan diterjemahkan) antara pihak-pihak terkait,
seperti saran orang tua dan pemikiran anak. Solusi yang digunakan tentunya juga
tanpa merusak alur-alur kehidupan yang hakiki, tanpa melanggar hak satu sama
lain, dan tanpa menyakiti pihak manapun.
Daftar
Pustaka
Marsigit.
(2013). Elegi Permintaan Si Murid Cerdas
Kepada Guru Matematika. Diakses dari www.powermathematics.blogspot.com.
Marsigit.
(2013). Elegi Pemberontakan
Pendidikan Matematika 19: Apakah Mat Kontradiktif? (Tanggapan utk P Handarto
C). Diakses dari www.powermathematics.blogspot.com.
Komentar
Posting Komentar