Filsafat Keterbatasan dalam Hidup untuk Menggapai Harmoni Kehidupan
Oleh: Eny Sulistyaningsih (P. Mat
A_14709251086)
(Terinspirasi oleh perkuliahan
Filsafat Ilmu
Bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A pada
hari Kamis, 16 Oktober 2014)
Filsafat sering
dianggap menjadi suatu ilmu yang susah untuk dipahami. Namun, sejatinya
filsafat adalah hasil pemikiran dari masing-masing individu. Setiap orang di
dunia ini memiliki kemampuan untuk berfilsafat berdasarkan apa yang telah
diketahuinya. Baik berfilsafat mengenai hal yang sangat sederhana sampai
berfilsafat seluas-luasnya dunia ini. Menurut Immanuel Kant, saat seseorang
ingin meilhat luasnya dunia maka lihatlah ke dalam pikiranmu sendiri. Pendapat
tersebut menyatakan secara tersirat bahwa dalam berfilsafat, seseorang
menyampaiakan hasil pemikirannya yang ada dan yang mungkin ada di dalam
pikirannya.
Pemikiran seseorang
dengan orang lainnya tentu saja berbeda. Saat individu A memikirkan tentang
semut sebagai benda yang kecil, akan sangat mungkin individu B memiliki
pemikiran yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan filsafat sifatnya individual
atau subjektif. Maksud kata subjektif disini adalah filsafat tergantung dari
pemikiran masing-masing individu terhadap suatu objek.
Objek-objek dalam kehidupan
dapat dibedakan menjadi objek yang ada di dalam pikiran dan yang ada di luar
pikiran. Objek yang ada di dalam pikiran dikarenakan seorang individu pernah
melihat atau merasakan keberadaan objek tersebut. Dengan kata lain, suatu objek
ada didalam pikiran karena objek tersebut pernah berinteraksi dengan satu atau
lebih panca indra seorang individu. Sedangkan objek yang ada di luar pikiran
yaitu objek yang tidak pernah berinteraksi dengan panca indra. Objek yang ada
di luar pikiran disebut dengan isomorfis. Objek tersebut dapat dibuat
pemetaannya.
Subjektivitas filsafat
ternyata tidak dapat diaplikasikan pada setiap hal dalam kehidupan. Seperti
contoh dalam partai polotik, seseorang tidak dapat bertindak secara subjektif
atau individualis. Hal tersebut dikarenakan dalam berpolitik harus bekerjasama
dengan orang yang lain dan dengan bidang-bidang tertentu yang lain juga. Oleh karena itu, tidak setiap orang dapat
berpolitik, tetapi sebaliknya, setiap orang dapat berfilsafat.
Setiap orang yang
berfilsafat tidak terikat hanya orang-orang baik saja, atau hanya orang-orang
jahat saja. Tidak dibedakan yang baik atau jahat, yang benar atau salah. Secara
filsafat, orang jahat disebut juga dengan salah, negatif, tidak baik, neraka,
bahkan unsur-unsurnya setan dan iblis. Sedangkan orang yang baik, dalah
filsafat disebut juga sebagai benar, positif, baik, surga, dan unsur-unsurnya
malaikat. Kedua hal yang saling bertentangan tersebut nyatanya tidak bisa
dipisahkan dari setiap individu. Karena dalam diri setiap individu tidak ada
yang hanya memiliki salah satu unsur tersebut saja. Oleh karena itu,
masing-masing memiliki filsafatnya. Dengan kata lain, filsafat terdapat pada
siapa saja, orang jahat ataupun orang baik. Orang yang jahat, secara filsafat
disebut disharmoni, sedangkan orang yang baik disebut dengan harmoni.
Menjalani kehidupan
dengan berbagai keadaan dan tantangan, akan semakin mengukuhkan tujuan utama
dalam kehidupan, yaitu mencapai harmoni. Meskipun harmoni identik dengan
kesempurnaan kehidupan, nyatanya tidak ada seorang pun yang dapat mencapai
kesempurnaan harmoni, karena setiap individu tercipta dengan keterbatasan
masing-masing. Dalam ketidaksempurnaan itu lah diajarkan untuk lebih mengerti
makna kehidupan. Kehidupan yang nyata hanya bersifat seri meskipun dalam pikiran
dapat bersifat paralel. Dengan adanya ketidaksempurnaan dalam diri setiap
individu akan membuat saling memahami keterbatasan yang justru akan menciptakan
suatu harmoni dalam kehidupan meski tanpa adanya kesempurnaan kehidupan. Hal
terpenting dalam menghadapi keterbatasan untuk menggapai harmoni kehidupan
adalah dengan meningkatkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Karena manusia
lahir itu adalah terpilih.
Komentar
Posting Komentar